Perang dan Puputan Jagaraga Serta Akibatnya (Abad XIX-Awal Abad XX)
Penyebab terjadinya perang dan puputan Jagaraga pada abad ke-19, tidak dapat dilepaskan dari usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memperluas pengaruhnya, dengan beberapa kali mengirimkan utusan untuk mendapatkan pengaruh yang luas dalam bidang politik. Kontrak-kontak politik itu akhirnya didapatkan. Kontrak-kontrak berupa perjanjian-perjanjian yang memberikan pengakuan atas kekuasaan pemerintah Hindia Belanda itu, seperti: kontrak perjanjian-perjanjian dengan Kerajaan Badung, dengan Kerajaan Karangasem, dengan Kerajaan Buleleng, dan kontrak perjanjian dengan Kerajaan Klungkung. Adapun isi kontrak pada dasarnya menyatakan, bahwa raja-raja tersebut menyatakan daerahnya berada dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, dan raja-raja itu berjanji tidak akan menyerahkan wilayahnya itu kepada bangsa asing lainnya (Utrecht, 1962: 171-172; Arsip Nasional, Surat-Surat Perjanjian, 191-141; lihat Parimartha (Dkk), 2015: 364).
Selain kontrak perjanjian tersebut, dibuat juga kontrak antara pemerintah Kolonial Belanda dengan raja-raja di Bali (raja Klungkung, raja Badung, raja Buleleng, dan juga raja Lombok). Isi perjanjian, antara lain, menghapuskan hukum tawan karang (Utrecht, 1962: 174; Lekkerkerker, 1923: 317). Rupanya perubahan isi kontrak yang awalnya bersifat dagang kemudian menjadi bersifat politik. Dengan adanya kontak perjanjian ini, menyebabkan raja-raja di Bali sangat kecewa, karena raja-raja di Bali sesungguhnya menginginkan hubungan perdagangan atau persahabatan bukan hubungan penaklukan atau penundukan. Raja Buleleng dan Karangasem menyatakan menolak dihapuskannya hukum tawan karang karena hal itu dianggap merendahkan martabat raja (Kartidirdjo, 1975: 191).
Usaha Belanda untuk menekan raja Buleleng agar mengesahkan perjanjian penghapusan tawan karang telah ditolak. Atas alasan ditolaknya penghapusan tawan karang tersebut, pihak Belanda berusaha mencari jalan agar dapat meruntuhkan peraturan yang menghalanginya. Belanda berusaha membuat rekayasa, suatu propokasi dilakukan dengan membuat pancingan pada tahun 1844, kapal dagang berbendera Belanda tiba-tiba terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng), sesuai dengan aturan tawan karang, kapal itu dirampas oleh penduduk. Atas peristiwa tersebut Belanda menuntut raja Buleleng untuk mengganti kerugian atas kapal-kapal Belanda yang dirampas. Raja Buleleng tidak mengindahkan tuntutan Belanda (Parimartha, 2015: 365).
Patih Buleleng I Gusti Ketut Jelantik dengan tegas menyatakan, bahwa tuntutan tersebut tidak mungkin dapat diterima. Atas penolakan itu, Belanda menyerang Buleleng dengan mendatangkan pasukannya. Kedatangan pasukan Belanda itu mendapat perlawanan dari raja dan rakyat Buleleng, sehingga kemudian peristiwa ini juga mengakibatkan perang-perang di Buleleng tahun 1846-1849. Karena raja tidak mau ditundukkan, maka meletuslah perang di Buleleng tahun 1846, dan banyak pula jatuh korban di pihak Belanda, istana raja dibakar, raja belum menyerah. Setelah hancurnya kerajaan Buleleng pada 28 Juni 1846, kemudian raja serta patih I Gusti Ketut Jelantik berinisiatif untuk mengungsi bersama kerabat dan pasukan Buleleng yang masih hidup menuju Desa Jagaraga. Untuk sementara pihak raja memilih berdamai dengan Belanda (Kartodirdjo, 1975: 193).
Dalam perang perlawanan Kerajaan Buleleng menghadapi pasukan Belanda, menyebabkan banyak korban yang jatuh termasuk dari pihak tentara Belanda. Hancurnya Kerajaan Buleleng atas serangan tentara Belanda, pihak raja menyatakan berdamai. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh raja Buleleng beserta patih I Gusti Ketut Jelantik makin giat memperkuat angkatan perangnya selama 2 tahun, membuat dan memperkuat benteng dengan sistem “Supit Urang”, yang dipusatkan di Desa Jagaraga. Untuk menambah jumlah laskar didatangkan bantuan dari Kerajaan Klungkung, Gianyar dan Mengwi (Team Penyusun Naskah Dan Pengadaan Buku Sejarah Bali Daerah Tingkat I Bali, 1980: 80). Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga terjadinya serangan lagi dari pasukan Belanda. Perkiraan pihak kerajaan Bali benar, karena pihak Belanda juga memperkuat ekspedisi kedua. Jika ekspedisi pertama berkekuatan 1700 orang, ekspedisi ini berkekuatan 2265 orang (Weitzel, 1959: 19; lihat Kartodirdjo, 1975: 195).
Setelah pusat benteng pertahanan Kerajaan Buleleng dipindahkan ke Jagaraga, kembali pada 8 Juni 1848, Belanda mengadakan serangan pertama terhadap benteng Jagaraga dengan melancarkan tembakan-tembakan meriam dari atas kapal maupun pasukan daratnya. Karena pihak Belanda belum menguasai strategi dan medan pertempuran di Jagaraga, maka pasukan Belanda berhasil di pukul mundur oleh pasukan Kerajaan Buleleng yang terdiri dari pasukan gabungan. Dengan ditariknya kembali pasukan Belanda, pasukan Bali sempat menyusun kembali kekuatan laskar dan benteng pertahanannya di Jagaraga.
Pada ekspedisinya ketiga ini, pasukan Belanda semakin diperkuat lagi. Di bawah pimpinan Mayor Jenderal Michiels dan Letnan Kolonel De Brauw ekspedisi Belanda yang ketiga kalinya menyerang benteng pertahanan di Jagaraga pada tanggal 15 April 1849, mendarat di Pantai Sangsit, dan langsung mengadakan serangan. Kali ini penyerangan Belanda dilakukan dari dua arah, yaitu dari depan dan dari belakang. Ahirnya Belanda berhasil mengurung benteng Jagaraga. Dalam situasi yang genting itu, Patih Jelantik berhasil meloloskan diri bermaksud untuk menyusun strategi pertahanan yang lebih kuat. Namun dengan tidak terduga, Jero Jempiring menggantikan memimpin laskar di Jagaraga hingga akhir pertempuran, dan gugur bersama pengikutnya di medan perang melalui “puputan”.
Berakhirnya perang dan puputan Jagaraga, membawa akibat-akibat terhadap perubahan sistem pemerintahan, status , ekonomi perdagangan, pendidikan, dan munculnya ide-ide nasionalisme di kalangan masyarakat Bali Utara (Buleleng). Pemerintahan pasca masa kerajaan di Bali, dapat dilihat melalui sistem birokrasi tradisional (lihat Putra Agung: 22). Sebelum pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Bali kedudukan dan kekuasaan raja pada waktu itu sangat tinggi, raja memiliki kewenangan. Seorang raja atau pemimpin dalam mengamalkan tugasnya sebagai pelindung dan pengendali suatu kerajaan yang dikuasainya. Raja pada hakekatnya merupakan tokoh yang mulia, agung, dan patut dijadikan panutan dalam bertingkah laku. Tipe idola seorang raja atau pemimpin sesuai dengan ajaran Asta Brata, yakni delapan asas utama yang digunakan landasan kepemimpinan oleh seorang raja atau pemimpin (Ardika (Dkk), 2015: 132-135).
Pada masa penjajahan kolonial Belanda terjadi perubahan status. Pemerintah Belanda masih memfungsikan pemerintahan tradisional, tetapi dilihat dari struktur pemerintahannya, kedudukan raja berada dibawah seorang kontrolir (Kartidirdjo (DKK), 1987: 11-25). Nama raja diganti dengan nama regent. Sebelumnya raja memiliki kedudukan tertinggi dalam struktur pemerintahan. Penjajahan Belanda menyebabkan raja tidak lagi mempunyai kekuasaan penuh karena dalam melaksanakan pemerintahan, raja selalu diawasi oleh kontrolir. Raja semata-mata hanya pegawai yang diangkat dan digaji oleh kolonial Belanda, dan langsung minta saran atau pandangan kepada kontrolir, bukan lagi kepada patih.
Apabila raja berbuat salah atau kurang berkenan di hati pemerintah kolonial Belanda, langsung dipecat atau diasingkan ke daerah lain. Jabatan-jabatan seperti. residen, asisten residen, kontrolir, dan lain-lain, tidak pernah dijabat oleh orang-orang pribumi (Buleleng). Jabatan tertinggi yang diduduki elit-elit Buleleng adalah jabatan regent. Orang-orang Buleleng hanya menduduki jabatan pelengkap. Secara politik pemerintah kolonial Belanda ingin mempertahankan kedudukannya sebagai negara penjajah (Sara Partama, 1992: 161).
Akibat Singaraja menjadi kota pelabuhan dan dagang telah menimbulkan perubahan-perubahan dalam bidang sosial budaya dan ekonomi di wilayah tersebut. Masyarakat Buleleng menjadi bersifat dinamis dan terbuka dengan dunia luar, menyebabkan perubahan cara berpikir dari masyarakat agraris (Petani) ke masyarakat perdagangan. Setelah Singaraja menjadi pusat perdagangan, sistem uang mulai dikenal. Sejalan dengan perkembangan perdagangan pada permulaan abad ke-19, perdagangan di Buleleng semakin ramai. Dengan masuknya ekonomi uang dan akibat kemajuan kota Singaraja sebagai kota pelabuhan dan dagang, banyak penduduk Buleleng mulai meninggalkan pertanian terjun ke lapangan perdagangan (Sara Partama, 1992170; lihat Putra Agung, 2001: 63).
Untuk kepentingan tenaga administrasi , pemerintah Belanda pada tahun 1875 di Singaraja membuka pendidikan modern, seperti Tweede Klase School, kemudian Eeste Inlandesche School, dan HIS pada tahun 1913. Pada waktu itu banyak pula pelajar-pelajar Bali yang melanjutkan ke Jawa pada tahun 1927, pada sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijds), AMS (Algemeene Middelbare Sshool), di Kweekschool, Ambachtshool, Nederkadsch Indische Artsenschool, OSVIA (Opleidingsschool Voor Inlansche Anternaren), dan di HMS (Moorgere Kwekshool) (Surya Kanta, 1927: 34; lihat Putra Agung 2001: 88). Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga terutama terhadap pelajar-pelajar Bali yang melanjutkan ke Probolinggo karena khawatir pelajar-pelajar Bali mulai tertarik terhadap mesalah-masalah nasionalisme, hingga akhirnya pemerintah Belanda mengeluarkan larangan bagi para pelajar Bali untuk diterima di sekolah-sekolah yang ada di Probolinggo.
Dalam perkembangannya, pendidikan modern telah mendorong masyarakat Bali, khususnya yang dimotori oleh kaum pelajar yang kebanyakan berasal dari golongan Sudra untuk melakukan perubahan-pembaharuan dalam agama dan adat istiadat yang dianggap masih kolot dan menyesatkan. Pendidikan modern juga mendorong lahirnya ide-ide nasionalisme.
Perang dan puputan Jagaraga yang pernah terjadi pada abad ke-19 serta akibatnya sampai awal abad ke-20 mengandung beberapa makna yang relevan dengan masa kini, seperti makna tautan antara pemimpin dengan yang dipimpin, makna filosofi Agama Hindu dalam perang dan puputan Jagaraga, makna perang dan puputan Jagaraga sebagai kerangka sejarah Indonesia dan salah satu bentuk kepribadian bangsa Indonesia, makna kesetaraan gender dalam perang dan puputan Jagaraga, dan upaya dari pihak-pihak terkait dalam memaknai perang dan puputan Jagaraga. Semua makna dan hakekat yang terkandung di dalamnya, diharapkan dapat dipahami, ditauladani, dihargai, diperkenalkan kepada generasi penerus bangsa ini, melaui suatu upaya yang dilakukan terutama oleh pihak-pihak terkait.
Salah satu contoh nyata adalah dengan berdirinya sebuah monumen perang dan puputan Jagaraga. Berdirinya monumen perang Jagaraga tidak terlepas dari kesepakatan dan upaya bersama dari para tokoh dan aparat masyarakat Jagaraga, dengan dinas terkait, seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan, di lingkungan Pemerintah Kabupaten Buleleng. Hal ini merupakan suatu respon positif untuk dapat dikenal terutama oleh masyarakat Jagaraga, masyarakat Buleleng, masyarakat Bali, dan masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia, bahwa di tempat itu, pada abad ke-19 pernah terjadi perang yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dan puputan yang dipimpin oleh Jero Jempiring melawan pasukan tentara Belanda dengan kekuatan perang yang jauh lebih modern. Semua ini dilakukan untuk membela tanah air, membela harga diri atas dasar kebenaran. Dengan berdirinya “Monumen Perang Jagaraga”, bermaksud agar dapat digunakan sebagai salah satu saluran pendidikan dalam memperkenalkan, mengenang dan menanamkan nilai-nilai perjuangan para tokoh pendahulu dalam perang dan puputan Jagaraga, terutama bagi para pelajar, mahasiswa, dan generasi muda bangsa Indonesia.
Museum | : | UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali |
Tipe Kajian | : | Koleksi |
Tahun | : | 2019 |
Pengkaji | : | Kolaborasi |
Nama Pengkaji | : | Prof.Dr.Phil. I Ketut Ardana, M.A.dkk |
Bentuk Publikasi | : | Non Digital Museum |
Media Publikasi | : | Buku Kajian |
Tautan Media Publikasi | : | |
File Kajian | : | Lihat File Kajian |