museum

Museum Daerah Nene Mallomo

Jalan Wolter Mongisidi No. 17

Museum Daerah merupakan pelengkap suatu daerah dalam pemajuan sarana dan prasarana kebudayaan dan pariwisata. Merujuk pada Undang-Undang RI No. 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan yang mengamanatkan bahwa setiap daerah harus mempunyai sebuah museum daerah untuk menjaga dan melestarikan warisan sejarah dan budaya suatu daerah untuk kelangsungan suatu bangsa. Perencanaan didirikan Museum Daerah Kabupaten RSidenreng Rappang sebenarnya sudah di ilhami/diusulkan oleh Lembaga Adat Kabupaten Sidenreng Rappang yan diketuai oleh Drs. H. Andi Muh. Saleh dan Bupati Sidenreng Rappang ke 7 yaitu Alm. Andi Raggong sejak tahun 2007. Seiring dengan salah satu program strategis 100 hari Bupati Sidenreng Rappang yang ke-9 Bapak H. Dollah Mando yaitu Pengadaan Museum Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang dengan diterbitkan SK Bupati tentang Pendirian Museum Daerah Nene Mallomo No. 442 a/x/2018 dan SK Bupati No: 463 a/x/2018 tentang pembentukan pengelola Museum Daerah Nene Mallomo Kabupaten Sidenreng Rappang menjadi landasan kuat berdirinya museum daerah ini. keberadaan Museum Daerah yang menempati gedung yang digunakan dengan berbagai keterbatasan disebabkan usia bangunan yang merupakan kantor lama Kominfo sehingga memerlukan perbaikan dan renovasi kedepannya. Demikian sejarah singkat proses pendirian Museum Daerah di Kabupaten Sidereng Rappang yang fungsinya salah satu pemajuan kebudayaan di daerah ini.

museum

Museum Karaeng Pattingalloang

Kawasan Benteng Somba Opu

Museum Karaeng Pattingaloang merupakan museum yang didirikan pada tahun 1989 dan diresmikan pada 1995. Nama museum diambil dari nama Perdana Menteri Kerajaan Tallo periode 1641-1654. Ia terkenal sebagai seorang intelektual dan memiliki ketertarikan yang besar terhadap ilmu pengetahuan pada masa itu. Museum ini dibangun untuk mengenang riwayat hidupnya. Museum ini berada pada area bangunan Benteng Somba Opu peninggalan Kesultanan Gowa Raja Gowa ke-IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallona.

museum

Museum Balla Lompoa

Jl. K.H. Wahid Hasyim No. 39

Museum Balla Lompoa merupakan museum khusus. Balla Lompoa berarti “Rumah Besar’. Sesuai dengan namanya, Balla Lompoa memang merupakan rumah besar, tidak hanya dari segi ukuran, tetapi juga dari segi siapa yang menghuninya. Rumah tersebut merupakan istana yang menjadi tempat tinggal “orang besar”, yaitu Raja-raja Gowa dan keluarganya. Pendiri rumah ini adalah I Mangngi Mangngi Daeng Matutu Karaeng Bontonompu Sultan Muhammad Thahir Muhibudding Tumenengari Sungguminasa, Raja ke-35 Kerajaan Gowa. Istana ini dibangun pada tahun 1935. Dalam perkembangannya kemudian, Istana Balla Lompoa berubah status menjadi Museum Balla Lompoa yang diresmikan pada 6 Januari 1980. Museum Balla Lompoa pada awalnya ditempati raja ke-35 sampai pada masa Raja Gowa yang terakhir ke-36. Kemudian setelah berakhir masa kerajaan dan beralih ke masa swapraja atau masa pemerintahan, maka Istana Balla Lompoa beralih status menjadi Museum Balla Lompoa yakni pada masa pemerintahan Bupati Gowa yang ke-2, Andi Tau.

museum

Museum Daerah Kabupaten Maros

Jl. Lanto Dg. Pasewang

Museum Daerah Kabupaten Maros merupakan museum yang dibangun dengan tujuan sebagai wadah untuk peningkatan pengetahuan dan kualitas pendidikan dengan penyeberan pengetahuan, aktifitas pembelajaran dan rekreasi. Museum ini juga dilengkapi dengan penangkaran sebagai media observasi dan pelatihan penangkaran. Peresmian museum dilakukan pada tahun 2016.

museum

UPTD Museum Nekara

Jl. Poros Bandara Aroeppala KM. 4 Matalalang

Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi,mengembangkan,memanfaatkan koleksi dan mengkomunikasikannya kepada Masyarakat. Koleksi museum yang selanjutnya di sebut koleksi adalah Benda Cagar Budaya,dan atau struktur cagar budaya dan/atau bukan cagar budaya yang merupakan bukti material alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah,ilmu pengetahuan,pendidikan,agama,kebudayaan,teknologi dan /atau peristiwa Museum Nekara sudah di dirikan sejak tahun 1980 dengan nomor Kep/73/VI/1980 tanggal 12 Juni 1980. Penamaan Museum Nekara diambil dari nama benda cagar budaya yaitu Nekara Perunggu yang merupakan ikon budaya Kabupaten Kepulauan Selayar yang tersimpan di Matalalang,Kelurahan Bontobangun,Kecamatan Bontoharu,Kabupaten Kepulauan Selayar. Koleksi Museum Nekara pada waktu itu ada 796 buah koleksi yang terdiri dari berbagai jenis peninggalan sejarah dan hasil kebudayaan masa lampau. Perubahan kelembagaan menyebabkan Museum Nekara di tutup karena tidak ada pengelolanya. Pada tahun 2016 Museum ini dibuka kembali melalui peraturan Bupati Kepulauan Selayar Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Pendirian jMuseum Tana Doang Tanggal 30 April Tahun 2016 yang di kelolah oleh seksi cagar budaya dan permuseuman pad a Dinas kebudayaan dan Pariwisata. Kemudian pada tahun 2017 terjadi lagi perubahan kelembagaan dimana urusan kebudayaan pindah ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sehingga museum dikelolah oleh seksi cagar budaya dan permuseuman pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya UPTD Museum Nekara di dirikan melalui Peraturan Bupati Nomor 15 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Museum Nekara pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan,Tanggal 17 Mei 2018. Kemudian pada tahun 2021 UPTD Museum Nekara kembali dibawah naungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melalui peraturan bupati Nomor 10 Tahun 2021,tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Museum Nekara pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaantanggal 4 Januari 2021. Saat ini koleksi Museum Nekara berjumlah 10.140 buah.

museum

Pendirian museum ini disebabkan pemerintah Toraja Utara merasa perlu untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai Toraja. Selain itu, keberadaan museum ini dapat mendukung Toraja sebagai daerah budaya dan pariwisata, serta menjadi media untuk melestarikan kebudayaan dan mengomunikasikannya kepada generasi selanjutnya. Nama museum diambil dari pahlawan nasional perintis kemerdekaan dari Toraja yang bernama Pongtiku. Penetapan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Presiden yang dikeluarkan pada 2 November 2002 oleh Presiden Megawati.

Testimoni