Data Kajian
Revised age and stratigraphy of the classic Homo erectus-bearing succession at Trinil (Java, Indones
Museum Trinil
2022 - Kolaborasi
Obtaining accurate age control for fossils found on Java (Indonesia) has been and remains challenging due to geochronologic and stratigraphic uncertainties. In the 1890s, Dubois excavated numerous faunal fossilsdincluding the first remains of Homo erectusdin sediments exposed along the Solo River at Trinil. Since then, various, and often contradictory age estimates have been proposed for the Trinil site and its fossils. However, the age of the fossil-bearing layers and the fossil assemblage remains inconclusive. This study constructs a chronostratigraphic framework for the Trinil site by documenting new stratigraphic sections and test pits, and by applying 40Ar/39Ar, paleomagnetic, and luminescence (pIRIR290) dating methods. Our study identifies two distinct, highly fossiliferous channel fills at the Trinil site. The stratigraphically lower Bone-Bearing Channel 1 (BBC-1) dates to 830e773 ka, while Bone-Bearing Channel 2 (BBC-2) is substantially younger with a maximum age of 450 ± 110 ka and an inferred minimum age of 430 ± 50 ka. Furthermore, significantly younger T2 terrace deposits are present at similar low elevations as BBC-1 and BBC-2. Our results demonstrate the presence of Early and Middle Pleistocene, and potentially even late Middle to Late Pleistocene fossiliferous sediments within the historical excavation area, suggesting that Dubois excavated fossils from at least three highly fossiliferous units with different ages. Moreover, evidence for reworking suggests that material found in the fossil-rich strata may originate from older deposits, introducing an additional source of temporal heterogeneity in the Trinil fossil assemblage. This challenges the current assumption that the Trinil H.K. fauna ewhich includes Homo erectus-is a homogeneous biostratigraphic unit. Furthermore, this scenario might explain why the Trinil skullcap collected by Dubois is tentatively grouped with Homo erectus fossils from Early Pleistocene sediments at Sangiran, while Trinil Femur I shares affinities with hominin fossils of Late Pleistocene age
Kajian dan Konservasi Koleksi Fosil di Museum Trinil
Museum Trinil
2019 - Instansi
Museum dapat didefinisikan sebagai tempat mengumpulkan, merawat dan memamerkan benda benda tinggalan atau aktifitas manusia masa lalu. Didalam museum memiliki empat unsur utama yaitu bangunan, koleksi, pengelola dan pengunjung. Dari unsur-unsur tersebut sudah masuk di dalam Museum Trinil namun memang masih butuh pembaharuan dengan disesuaikan zaman saat ini. Sedangkan pelindungan dari koleksi suatu museum juga harus diperhatikan karena koleksi adalah roh dari suatu museum sehingga pelindungan yang tepat di museum Trinil adalah adanya perawatan rutin atau konservasi yang berkala. Dari kegiatan pengumpulan data yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: a. Situs Trinil mempunyai potensi Cagar Budaya yang cukup tinggi, hal ini tergambar dari beragamnya temuan arkeologis baik berupa Benda Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Situs Cagar Budaya yang ada di Kabupaten Ngawi Secara Umum. b. Museum Trinil Ngawi mempuyai potensi untuk dikembangkan sebagai wisata edukasi mengingat beragamnya benda koleksi yang ada c. Beraneka ragamnya fosil binatang yang ada di Museum Trinil dapat dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui lingkungan masa lalu di Situs Trinil d. Dengan adanya penyesuaian terhadap deskripsi koleksi yang baru pada koleksi dapat lebih membentu memberikan informasi kepada masyarakat secara informatif
Kajian Koleksi Museum Trinil 2020
Museum Trinil
2020 - Instansi
Secara teknis, pengelolaan koleksi dilakukan dengan cara melaksanakan penyimpanan dan pemeliharaan. Penyimpanan koleksi dapat berupa ruang pamer atau ruang penyimpanan, tentu saja dengan memperhatikan pelindungannya. Perbedaan kedua ruang ini adalah tentang akses untuk publik. Ruang penyimpanan merupakan ruang yang tidak bisa diakses pengunjung/tertutup. Hanya petugas yang diperbolehkan masuk ruangan ini. Sementara ruangan pamer adalah ruang penyimpanan yang dapat diakses publik. Museum Trinil memiliki jumlah koleksi yang relatif banyak, berada di ruang penyimpanan dan ruang pamer. Sekarang ini ada 118 koleksi yang disajikan di ruang pamer dan 742 buah koleksi di ruang penyimpanan.
Kajian Koleksi Museum Trinil 2022
Museum Trinil
2022 - Instansi
Kegiatan Kajian Koleksi Museum Trinil Tahun 2022 yang merupakan hasil kerja sama antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ngawi sebagai pengelola Museum Trinil dan BPSMP Sangiran sebagai lembaga mitra pelestari telah dilaksanakan dengan baik. Pada kegiatan Kajian Koleksi Museum Trinil Tahun 2022, tim kajian koleksi BPSMP Sangiran melakukan peningkatan kandungan informasi yang komprehensif dari koleksi yang dipamerkan di Ruang Pamer Museum Trinil menggunakan pendekatan Signifikan 2.0. Pendekatan Signifikan 2.0 digunakan untuk menggali informasi dan nilai penting koleksi, khususnya koleksi fosil fauna sebanyak 5 (lima) spesimen dan 2 (dua) artefak temuan dari Situs Trinil. Data hasil kajian fosil dan artefak di Museum Trinil berdasarkan pendekatan Signifikan 2.0 tersebut dapat digunakan sebagai bahan penyiapan atau rekomendasi pendaftaran dalam registrasi nasional maupun penetapan cagar budaya. Selain itu, hasil kajian koleksi berdasarkan pendekatan Signifikan 2.0 dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan infografis terhadap koleksi yang dipamerkan tersebut.
Mushaf Kuno Nusantara: Jawa
Museum Al-Qur’an PTIQ
2019 - Instansi
Sebanyak 11 (sebelas) Koleksi Museum Al-Qur'an PTIQ Jakarta terekspos melalui buku ini mulai dari halaman 33 sampai 44 berbentuk PDF.
Reconstructing the provenance of the hominin fossils from Trinil (Java, Indonesia) through an integr
Museum Trinil
2021 - Kolaborasi
In the early 1890s at Trinil, Eugene Dubois found a hominin skullcap (Trinil 2) and femur (Trinil 3, Femur I), situated at the same level ca. 10e15 m apart. He interpreted them as representing one species, Pithecanthropus erectus (now Homo erectus) which he inferred to be a transitional form between apes and humans. Ever since, this interpretation has been questioneddas the skullcap looked archaic and the femur surprisingly modern. From the 1950s onward, chemical and morphological analyses rekindled the debate. Concurrently, (bio)stratigraphic arguments gained importance, raising the stakes by extrapolating the consequences of potential mixing of hominin remains to the homogeneity of the complete Trinil fossil assemblage. However, conclusive evidence on the provenance and age of the hominin fossils remains absent. New Trinil fieldwork yielded unmanned aerial vehicle imagery, digital elevation models, and stratigraphic observations that have been integrated here with an analysis of the historical excavation documentation. Using a geographic information system and sightline analysis, the position of the historical excavation pits and the hominin fossils therein were reconstructed, and the historical stratigraphy was connected to that of new sections and test pits. This study documents five strata situated at low water level at the excavation site. Cutting into a lahar breccia are two similarly oriented, but asynchronous pre-terrace fluvial channels whose highly fossiliferous infills are identified as the primary targets of the historical excavations (Bone-Bearing Channel 1, 830e773 ka; Bone-Bearing Channel 2, 560 e380 ka), providing evidence for a mixed faunal assemblage and yielding most of the hominin fossils. These channels were incised by younger terrace-related fluvial channels (terminal Middle or Late Pleistocene) that directly intersect the historical excavations and the reconstructed discovery location of Femur I, thereby providing an explanation for the relatively modern morphology of this ‘bone of contention’. The paleoanthropological implications are discussed in light of the current framework of human evolution in Southeast Asia.