museum

Monumen Yogya Kembali

Jl. Jongkang

Monumen Yogya Kembali dibangun pada 29 Juni 1985 diawali dengan upacara tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Gagasan pendirian monumen ini dilontarkan oleh Kolonel Sugiarto selaku Walikotamadya Yogyakarta dalam peringatan Yogya Kembali yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta pada 29 Juni 1983. Pemilihan nama Yogya Kembali dimaksudkan untuk mengenang peristiwa sejarah ditariknya tentara pendudukan Belanda dari Ibukota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949. Peristiwa ini menjadi tanda awal bebasnya Bangsa Indonesia secara nyata dari kekuasaan Pemerintah Belanda. Pembangunan monumen berbentuk kerucut yang terdiri dari 3 lantai ini selesai dibangun dalam waktu empat tahun. Monumen Yogya Kembali resmi dibuka oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Juli 1989.

museum

Museum Kanker Indonesia

Jl. Kayun 16-18

Museum Kanker Indonesia atau Museum Kanker Indonesia Yayasan Kanker Wisniwardhana (MKI-YKW) merupakan museum khusus yang didirikan pada 2 November 2013, di Surabaya, Jawa Timur. Tujuan didirikannya museum ini adalah untuk melakukan usaha pengoleksian, mengkonvervasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda-benda atau materi-materi nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, hiburan dan kesenangan dengan memasukkan unsur sejarah kanker. Koleksi yang dipamerkan di museum berupa alat bantu pengenalan kanker, pencegahan, diagnosa awal, penyembuhan, rehabilitasi, paliatif, sejarah dan kebudayaan. Museum Kanker Indonesia akan menjadi museum kanker pertama di dunia serta menjadi model untuk menggalang dan mempersatukan kekuatan dalam melakukan upaya menanggulangi kanker. Selain itu, museum juga diharapkan untuk menyajikan pemenuhan kebutuhan penginderaan manusia meliputi indera penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Museum ini berada di bawah kepemilikan dan pengelolaan Yayasan Kanker Wisnuwardhana.

museum

Museum Anti Narkoba (Wale Anti Narkoba)

Kompleks Pa’dior Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, Jl. Raya Pinabetengan

Museum Anti Narkoba (Wale Anti Narkoba) merupakan museum yang pembangunannya dilatarbelakangi dengan semakin tingginya jumlah penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, termasuk di Sulawesi Utara (Sulut). Ketua Umum Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara (YISBSU), Irjen. Pol. (P) Dr. Benny J Mamoto (Mantan Deputi bidang Pemberantasan BNN) menginisasi pendirian Wale Anti Narkoba (WAN) pada tanggal 26 Februari 2014. Kata Wale sendiri berarti rumah dalam bahasa Minahasa, Sulawesi Utara. WAN adalah museum bertemakan informasi Narkoba pertama kali di Indonesia. Lebih tepatnya, WAN adalah media pendidikan bagaimana mencegah serta memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba, yang berisi data dan informasi komprehensif dengan menggunakan multi raga. Lokasi museum WAN bertempat di dalam Kompleks Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara (Pa’dior), Jl. Pinabetengan, Tompaso-Minahasa Sulawesi Utara. Di dalam kompleks ini juga terdapat beberapa museum lainnya, seperti Museum Pinawentengan, Museum Rekor, Museum Tenun, dan lain-lain.

museum

Museum Loka Budaya merupakan museum yang didirikan pada 1970 dan diresmikan oleh Prof. Dr.Ida Bagus Mantra pada 1 Oktober 1973. Museum ini berada di bawah Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih. Akan tetapi, dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1980 tentang Penataan Organisasi Perguruan Tinggi/ Institut Negeri, maka Lembaga Antropologi khususnya bagian penelitian dilebur menjadi Pusat Penelitian Universitas Cendrawasih. Sedangkan Museum Loka Budaya tidak tertampung dalam struktur unit lainnya. Oleh sebab itu, pada tahun 1990 dikeluarkan Surat Keputusan Rektor Tanggal 4 Juli 1990 No: 1698/PT.23.H/C/1990, yang menjadikan Museum Loka Budaya sebagai Unit Pengelola Teknis berada dibawah pengawasan Rektor Universitas Cendrawasih.

museum

UPT Museum La Pawawoi

Jl. MH Thamrin No. 9, ManurungngE, Kecamatan Tanete Riattang

Museum La Pawawoi yang kita saksikan sekarang ini telah melewati perjalanan panjang sebelum ditetapkan sebagai museum. Bangunan Museum La Pawawoi dibanguan pada tahu 1929 dan selesai pada tahun 1931. Bangunan tersebut awalnya diperuntukkan sebagai istana / saoraja dari Andi Mappanyukki yang dilantik sebagai Raja Bone ke-32 pada tahun 1931. Lama berselang setelah kemerdekaan Indonesia, semua aset bangunan Belanda diambil alih oleh pemerintah. Setelah kemerdekaan, bangunan tersebut juga pernah difungsikan sebagai Kantor POM dan Gedung Pengadilan. Atas prakarsa Kepala Daerah Tingkat II Bone H. Suaib dan Kepala Kebudayaan Andi Muh. Ali Petta Nompo, maka pada tanggal 5 Januari 1971 dibentuklah Museum La Pawawoi berdasarkan keputusan Kepala Daerah Tingkat II Bone Nomor : 1/DN.K/KPTS/1/1971. Tak berselang lama, gedung Museum La Pawawoi dipugar pada proyek pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala Sulawesi Selatan. Proyek tersebut membutuhkan dua tahun anggaran untuk penyelesaian yaitu tahun 1979/1980 sampai dengan 1980/1981. Setelah pemugaran selesai, Museum La Pawawoi diresmikan kembali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Dr. Daud Yusuf pada tanggal 14 April 1982. Pengelolaan Museum La Pawawoi kemudian berpindah ke Dinas Kebudayaan Kabuapten Bone pada tahun 2019 dari pengelola sebelumnya Keluarga Andi Mappasissi Petta Awampone. Setelah dikelola Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone, Museum La Pawawoi terus berbenah, sejak tahun 2019 Museum La Pawawoi gencar melaksanakan kegiatan bertemakan publikasi dan edukasi. Hingga pada tahun 2022 disusunlah alur cerita (storyline) yang menggambarkan perkembangan kebudayaan di Kabupaten Bone. Storyline yang baru diharapkan mampu membawa pengunjung menyusuri “lorong waktu” yang membagi sejarah budaya Kabupaten Bone dalam beberapa fase yaitu, “Masa Prasejarah”, “Masa Kerajaan Pra Islam”, “Masa Kerajaan Islam”, “Masa Kolonial”, dan “Masa Pasca Kemerdekaan”.

museum

Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia

Jl. Ir. H. Juanda No. 22 - 24

Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia merupakan pengembangan Museum Etnobotani Indonesia (MEI) yang mula-mula dicetuskan oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo, yang merupakan kepala LIPI pada saat itu. Gagasan tersebut bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung baru Herbarium pada tahun 1962, yang kemudian dimantapkan kembali ketika Dr. Setijati Sastrapradja memegang jabatan Direktur LBN (Lembaga Biologi Nasional) pada tahun 1973. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Museum Etnobotani Indonesia (MEI) tersebut dapat terwujud dan diresmikan pada tanggal 18 Mei 1982 oleh Menristek Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie.

Testimoni